Kamis, 21 November 2019

AL QUR’AN AL KARIIM (bag. 3)


Al-Manquulu bi-ttawaatir

Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang), sehingga terpelihara keasliannya. Berikut sekilas sejarah pemeliharaan Al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad hingga pembukuannya seperti sekarang:

Pada masa Nabi Muhammad Al-Qur’an dihafal dan ditulis di atas batu, kulit binatang, pelapah tamar dan apa saja yang bisa dipakai untuk ditulis. Kemudian setahun sekali Jibril melakukan repetisi (ulangan), yakni dengan menyuruh Nabi Muhammad memperdengarkan Al-Qur’an yang telah diterimanya. Menurut riwayat, di tahun beliau wafat, ulangan diadakan oleh Jibril dua kali. Ketika Nabi wafat, Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan manusia dan telah ditulis semua ayat-ayatnya dengan susunan menurut tertib urut yang ditunjukkan oleh Nabi sendiri.

Berdasarkan usulan Umar bin Khattab, pada masa pemerintahan Abu Bakar diadakan proyek pengumpulan Al-Qur’an. Hal ini dilatar belakangi oleh peristiwa gugurnya 70 orang penghafal Al-Qur’an dalam perang Yamamah. Maka ditugaskanlah Zaid bin Tsabit untuk melakukan pekerjaan tersebut. Ia kemudian mengumpulkan tulisan Al-Qur’an dari daun, pelapah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an.

Dalam upaya pengumpulan Al-Qur’an ini, Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya, tetapi masih memandang perlu mencocokkan hafalannya dengan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan dua orang saksi. Selanjutnya, Al-Qur’an ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikatnya dengan benang, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan Rasulullah .

Pada masa Utsman terjadi ikhtilaf tentang mushaf Al-Qur’an, yakni berkaitan dengan ejaan, qiraat dan tertib susunan surat-surat. Oleh karena itu atas usulan Huzaifah bin Yaman, Utsman bin Affan segera membentuk panitia khusus yang dipimpin Zaid bin Tsabit beranggotakan Abdullah bin Zubair, Saad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk melakukan penyeragaman dengan merujuk kepada lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah, isteri Nabi . Al-Qur’an yang dibukukan oleh panitia ini kemudian dinamai “Al-Mushaf” dan dibuat lima rangkap. Satu buah disimpan di Madinah dinamai “Mushaf Al-Imam” dan sisanya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah. Sementara itu lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis sebelum proyek ini segera dimusnahkan guna menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, satu bacaan, dan satu tertib susunan surat-surat.

Mengutip hadis riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih :

Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan : Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al-Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."

Bersambung ke AL QUR’AN AL KARIIM (bag. 4)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar