Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf dan
disampaikan kepada kita secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang),
sehingga terpelihara keasliannya. Berikut sekilas sejarah pemeliharaan
Al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad ﷺ
hingga pembukuannya seperti sekarang:
Pada masa Nabi Muhammad ﷺ Al-Qur’an dihafal dan ditulis di atas batu, kulit binatang,
pelapah tamar dan apa saja yang bisa dipakai untuk ditulis. Kemudian setahun
sekali Jibril melakukan repetisi (ulangan), yakni dengan menyuruh Nabi Muhammad
ﷺ memperdengarkan Al-Qur’an yang telah
diterimanya. Menurut riwayat, di tahun beliau wafat, ulangan diadakan oleh
Jibril dua kali. Ketika Nabi ﷺ wafat, Al-Qur’an
telah dihafal oleh ribuan manusia dan telah ditulis semua ayat-ayatnya dengan
susunan menurut tertib urut yang ditunjukkan oleh Nabi ﷺ sendiri.
Berdasarkan usulan Umar bin Khattab, pada
masa pemerintahan Abu Bakar diadakan proyek pengumpulan Al-Qur’an. Hal ini
dilatar belakangi oleh peristiwa gugurnya 70 orang penghafal Al-Qur’an dalam
perang Yamamah. Maka ditugaskanlah Zaid bin Tsabit untuk melakukan pekerjaan
tersebut. Ia kemudian mengumpulkan tulisan Al-Qur’an dari daun, pelapah kurma,
batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal
Al-Qur’an.
Dalam upaya pengumpulan Al-Qur’an ini, Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya,
tetapi masih memandang perlu mencocokkan hafalannya dengan hafalan atau catatan
sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan dua orang saksi. Selanjutnya,
Al-Qur’an ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikatnya
dengan benang, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah
ditetapkan Rasulullah ﷺ.
Pada masa Utsman terjadi ikhtilaf tentang mushaf Al-Qur’an, yakni berkaitan dengan ejaan, qiraat dan tertib susunan surat-surat. Oleh karena itu atas usulan Huzaifah bin Yaman, Utsman bin Affan segera membentuk panitia khusus yang dipimpin Zaid bin Tsabit beranggotakan Abdullah bin Zubair, Saad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk melakukan penyeragaman dengan merujuk kepada lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah, isteri Nabi ﷺ. Al-Qur’an yang dibukukan oleh panitia ini kemudian dinamai “Al-Mushaf” dan dibuat lima rangkap. Satu buah disimpan di Madinah dinamai “Mushaf Al-Imam” dan sisanya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah. Sementara itu lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis sebelum proyek ini segera dimusnahkan guna menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, satu bacaan, dan satu tertib susunan surat-surat.
Mengutip hadis riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif,
dengan sanad yang shahih :
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan :
Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah
dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al-Qur'an sudah atas persetujuan kami.
Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat
berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari
qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata,
'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada
satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami
berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Bersambung ke AL QUR’AN AL KARIIM (bag. 4)
Baca Juga : AL QUR’AN AL KARIIM (bag. 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar