Rabu, 17 Maret 2021

ORANG YANG CERDAS MENURUT ROSULALLOH SAW




الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ التّقْوَى خَيْرَ الزَّادِ وَاللِّبَاسِ وَأَمَرَنَا أَنْ تَزَوَّدَ بِهَا لِيوْم الحِسَاب اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ رَبُّ النَّاسِ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المَوْصُوْفُ بِأَكْمَلِ صِفَاتِ الأَشْخَاصِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وسَلّمْ تَسليمًا كَثِيرًا ، أَمَّا بَعْدُ ،

Seorang ulama besar al-Imam al-Hafiz al-Syeikh Syihabuddin Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad al-‘Asqalani al-Syafi-‘I atau yang terkenal dengan (Ibnu Hajar al-'Asqalani) (lahir 773 H/1372 M wafat 852 H/1449 M) dalam muqoddimah kitabnya Munabbihat  ‘Ala  al-Isti’dad li Yaumil Ma’ad yang kemudian diberikan Syarah oleh al-Sheikh al-‘Allamah Abu Abd al-Mu’thi  Muhammad Nawawi  bin ‘Umar al-Banteni al-Jawi wafat (25 Syawal 1314 H/1897 M) dengan judul kitab Nasho-ihul-‘Ibad  fi Bayan Alfaz Munabbihat  ‘Ala  al-Isti’dad li Yaumil-Ma’ad.

Mengutip sebuah hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah ra

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ ‏:‏ كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ثُمَّ قَالَ

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah SAW, lalu seorang Anshar mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya,.

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ

“Wahai Rasulullah, orang mukmin manakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang paling baik akhlaknya.” Orang itu bertanya lagi, “Mukmin manakah yang paling cerdas?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak baik persiapannya menghadapi kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam hadist yang lain Rosulalloh SAW memperjelas tentang الكَيِّسُ

عن أبي يعلى شداد بن أوس - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ. [رواه الترمذي]

Artinya :

Dari Abu Ya'la yaitu Syaddad bin Aus r.a. dari Nabi SAW., sabdanya: "Orang yang cerdas - berakal - ialah orang yang memperhitungkan keadaan dirinya dan suka beramal untuk mencari bekal sesudah matinya, sedangkan orang yang lemah ialah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan mengharap-harapkan kemurahan dari Allah tanpa beramal shaleh." (HR. At-Tirmidzi)

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengevaluasi dan mencela diri atas kekurangan kita dalam melakukan ketaatan dan amal shalih. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

 Maksud ayat ini menurut Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah yang bernama lengkap (Abu al-Fida’ `Imad al-Din Isma`il bin Umar bin Katsir bin Dhau’ bin Katsir Zara’ Al-Qurasy Al-Syaf`i) wafat pada hari Kamis 26 Sya’ban 774 H/ 1374 M. adalah

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَانْظُرُوا مَاذَا ادْخَرْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ لِيَوْمِ مَعَادِكُمْ وَعَرَضَكُمْ عَلَى رَبِّكُمْ

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Lihatlah apa yang telah kalian siapkan untuk diri kalian berupa amal shalih untuk hari di mana kalian akan kembali dan setiap amal kalian akan dihadapkan kepada Allah.”

Oleh karenanya, mengingat persinggahan di dunia ini begitu singkat sudah barang tentu manusia harus pandai memanfaatkan waktunya. Jangan sampai ia menunda-nunda amal shalih yang sebenarnya bisa ia kerjakan dengan segera.

Rosulalloh SAW bersabda :

عَنْ ابْنِ عُمَرْ رضي الله عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ. وَكاَنَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memegang pundak kedua pundak saya seraya bersabda: Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara“, Ibnu Umar berkata: Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu“ (HR Bukhari).

Oleh karena kita tidak mengerti kapan dan dimana kita akan kembali menghadap kepada Allah Ta’ala, maka kita manfaatkan betul kehidupan dunia yang singkat ini untuk memperbanyak perbekalan menuju perjalanan yang masih sangat jauh itu.

Mu’min yang cerdas akan meniatkan segala aktifitasnya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dan tidak membiarkan satu kegiatan pun menjadi sia-sia tanpa nilai dihadapan-Nya. Bahkan seorang Mu’min yang cerdas selalu berupaya agar bisnis dan pekerjaan dunia yang ia jalani tidak melalaikannya dari mengingat Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ ,رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 36-37)

Semoga kita semua dijadikan seorang hamba yang mendapatk Rohmat dan petunjuk serta diberikan kekuatan untuk dapat memanfaatkan setiap kesempatan menjadi amal sholih sebagai persiapan kita menuju tempat kembali. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin.

 

Wallohul muawfiq ilaa aqwamit thoriq

Wasalamu’alaikum Warohmatulli wabarokatuh

 

Jaka Suganda

Majelis Atsaqofiy

 

Di tukil dari berbagai sumber

 




Rabu, 03 Februari 2021

Asbabun Nuzul Surah Al-Mu’awwidzataini

 Asbabun Nuzul  Surah Al-Mu’awwidzataini

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Para ahli tafsir berkata, seorang anak Yahudi menjadi pelayan Nabi s.a.w. Orang-orang Yahudi senantiasa mendekatinya, sampai pada suatu ketika si Yahudi mengambil sisir yang dipakai menyisir rambut Nabi s.a.w. dari pelayan itu. Kemudian orang Yahudi menyihir Nabi s.a.w. dengan rambut beliau yang terdapat di sisir itu. Orang yang diserahi untuk melakukannya adalah Lubaid bin al-A‘sham al-Yahudi.

Setelah dibentuk sedemikian rupa lalu dimasukkan dan ditanam di dalam sumur Bani Zuraiq, yang dikenal dengan nama Dzarwan. Rasulullah s.a.w. jatuh sakit dan rambut kepalanya banyak yang rontok, bahkan sempat beliau terlihat mendatangi istri-istrinya, namun beliau tidak mendatanginya.

Kemudian, pada suatu hari, ketika Nabi s.a.w. sedang tidur, tiba-tiba beliau didatangi dua malaikat, yang satu duduk di sisi kepala, sedang malaikat satunya (yang kedua) duduk di sisi kaki beliau.

Malaikat yang ada di sisi kepala beliau berkata: “Bagaimana keadaan laki-laki ini?” Malaikat yang satunya menjawab: “Thubba”. Malaikat yang di sisi kepala bertanya: “Apa itu thubba?” Ia menjawab: “Sihir.” Ia bertanya lagi: “Siapa yang menyihir?” Ia menjawab: “Lubaid bin al-A‘sham al-Yahudi.” Ia bertanya lagi: “Dengan apa beliau disihir?” Ia menjawab: “Dengan sisir dan rambut beliau yang ada di sisir itu.” Ia bertanya lagi: “Di mana barang itu berada?” Dijawab: “Di dalam pelepah kurma (ada yang mengatakan di dalam lilin yang dibentuk menyerupai wajah beliau) yang dimasukkan ke dasar sumur Dzarwan yang ditindih batu besar.”

Lalu Rasulullah s.a.w. terjaga dan bersabda: “Wahai ‘Ā’isyah, tahukah kamu, bahwa Allah telah memberitahukan kepadaku mengenai penyakitku?” Selanjutnya beliau mengutus ‘Alī, Zubair, dan ‘Ammār bin Yāsir.” Mereka datang ke sumur yang dimaksud dan melihat sedikit airnya seakan tinta berwarna biru tua.

Selanjutnya mereka mengeluarkan pelepah yang dibuat menyihir beliau itu dan ternyata di dalamnya memang terdapat sisir beliau dan ternyata di situ terdapat sebelas buhul, masing-masing buhul ditusuk dengan jarum. Lalu Allah menurunkan surah al-Mu‘awwidzatain (surah al-Falaq dan an-Nās). Setiap beliau membawa satu ayat, terlepas satu buhul, dan beliau merasakan ada yang terlepas dan semakin ringan sampai buhul yang terakhir, beliau pun bangkit terasa terbebas dari buhul-buhul tersebut.

Kemudian Malaikat Jibril datang dan mengobati (memantrai) beliau dengan membaca doa: “Bismillāhi urqīka min kulli syai’in yu’dzīka, wa min ḥāsidin wa ‘ainin, Allāhu yasyfīka.” (Dengan menyebut asma Allah aku memantraimu, dari segala sesuatu yang menyakitkanmu, dari kedengkian orang yang dengki dan dari ‘ain, Allah menyembuhkanmu).

Mereka orang-orang Yahudi dan musyrik merasa heran melihat beliau segar bugar. Beliau bersabda: “Allah telah menyembuhkan aku dan aku tidak suka hal itu akan berpengaruh buruk pada manusia (akan ditiru orang).” Demikianlah ketabahan dan keluhuran budi beliau s.a.w.:

Sebagaiman dalam Hadits Riwayat Imam Al Bukhori dijelaskan :

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُوْسَى أَخْبَرَنَا عِيْسَى عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سُحِرَ النَّبِيُّ (ص) وَ قَالَ اللَّيْثُ كَتَبَ إِلَيَّ هِشَامٌ أَنَّهُ سَمِعَهُ وَ وَعَاهُ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُحِرَ النَّبِيُّ (ص) حَتَّى كَانَ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَ مَا يَفْعَلُهُ حَتَّى كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ دَعَا وَ دَعَا ثُمَّ قَالَ: أَشْعَرْتِ أَنَّ اللهَ أَفْتَانِيْ فِيْمَا فِيْهِ شِفَائِيْ أَتَانِيْ رَجُلَانِ فَقَعَدَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِيْ وَ الْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِلْآخَرِ مَا وَجَعُ الرَّجُلِ؟ قَالَ: مَطْبُوْبٌ، قَالَ: وَ مَنْ طَبَّهُ؟ قَالَ: لَبِيْدُ بْنُ الْأَعْصَمِ، قَالَ: فِيْمَاذَا؟ قَالَ: فِيْ مُشُطٍ وَ مُشَاقَةٍ وَ جُفِّ طَلْعَةٍ ذَكَرٍ، قَالَ: فَأَيْنَ هُوَ؟ قَالَ: فِيْ بِئْرِ ذَرْوَانَ. فَخَرَجَ إِلَيْهَا النَّبِيُّ (ص) ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لِعَائِشَةَ حِيْنَ رَجَعَ نَخْلُهَا كَأَنَّهُ رُءُوْسُ الشَّيَاطِيْنَ. فَقُلْتُ: اسْتَخْرَجْتَهُ؟ فَقَالَ: لَا أَمَّا أَنَا فَقَدْ شَفَانِي اللهُ وَ خَشِيْتُ أَنْ يُثِيْرَ ذلِكَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا ثُمَّ دُفِنَتِ الْبِئْرُ. (رواه البخاري)

Artinya:

“Ibrāhīm bin Mūsā memberitahu kami, ‘Īsā memberitahu kami, dari Hisyām dari ayahnya, dari ‘Ā’isyah, ia pernah berkata: Nabi s.a.w. pernah disihir, sampai beliau dikhayalkan bahwa beliau akan berbuat sesuatu, namun beliau tidak melakukannya. Sampai pada suatu hari beliau berdoa dan berdoa. Lalu beliau bersabda: “Apakah kamu mengetahui bahwa Allah telah memberiku petunjuk, mengenai sesuatu yang di dalamnya mengandung kesembuhanku. Aku didatangi dua malaikat, yang satu duduk di sisi kepalaku dan yang satunya di sisi kedua kakiku. Salah satunya berkata: “Apa sakit orang ini?” Satunya menjawab: “Disihir?” Ia bertanya: “Siapa yang menyihir?” Ia menjawab: “Labīd bin al-A‘sham.” Dia bertanya: “Dengan apa?” “Dengan sisir dan rambut beliau yang terdapat pada gigi sisir itu dan dimasukkan dalam pelepah kurma jantan.” Ia bertanya: “Di mana ia diletakkan?” “Di dalam sumur Dzarwān.” Kemudian beliau keluar pergi ke sumur itu, lalu kembali pulang dan bersabda pada ‘Ā’isyah: “Pelepah kurma (yang dipakai menyihir beliau), seperti kepala setan.” Aku bertanya: “Engkau mengeluarkannya dari dalam sumur itu?” Beliau menjawab: “Tidak, Aku telah disembuhkan oleh Allah. Aku khawatir hal itu akan menimbulkan pengaruh pada manusia. Kemudian sumur itu ditanam.” (H.R. Bukhārī).

Demikian, segala puji bagi Allah Yang Esa lagi Maha Pemberi Anugerah, wa shallallāhu ‘ala Sayyidinā Muḥammadin wa ālihi wat-tābi‘īna lahum bi iḥsān.