Rabu, 30 Oktober 2019

Tugas Manusia





 اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ

Manusia di ciptakan oleh Allah ‘Azza Wa Zalla bukan tanpa tujuan atau hanya untuk di sia siakan. Allah yang maha berkehendak menciptakan Manusia sebagai Makhluk yang paling bagus dalam penciptaannya mempunyai tugas pokok yang utama. Tugas tugas pokok manusia itu antara lain :

1. Sebagai pengurus (khalifah) bagi planet bumi, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT :

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌۭ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةًۭ 

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (QS. Al-Baqarah: 30)

2. Untuk menyembah Allah Ta’ala sebagaimana dalam firman Allah SWT :

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat: 56)

Mengomentari ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat itu adalah :

إِنَّمَا خَلَقْتُهُمْ لِآمُرَهُمْ بِعِبَادَتِي، لَا لِاحْتِيَاجِي إِلَيْهِمْ ... وَمَعْنَى الْآيَةِ: أَنَّهُ تَعَالَى خَلَقَ الْعِبَادَ لِيَعْبُدُوهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، فَمَنْ أَطَاعَهُ جَازَاهُ أَتَمَّ الْجَزَاءِ، وَمِنْ عَصَاهُ عَذَّبَهُ أَشَدَّ الْعَذَابِ

“Sesungguhnya Aku menciptakan mereka hanyalah supaya Aku memerintah mereka menyembahku, bukan karena Aku butuh terhadap mereka. ... Makna ayat itu adalah bahwa Allah menciptakan manusia supaya menyembah Dia saja, tak menyekutukan dengan yang lain. Siapa yang taat pada Allah, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang sempurna. Siapa yang bermaksiat pada-Nya, Allah akan menyiksanya dengan parah.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, VII, 425) 

3. Supaya manusia tahu kemahakuasaan Allah, sebagaimana firman Allah :


اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا 

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha-Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS at-Thalaq: 12)

4. Sebagai bukti kelayakan untuk ditempatkan di tempat mana di akhirat. Akhirat mempunyai dua tempat yang bertolak belakang, yakni surga dan neraka. Allah bisa saja langsung menciptakan manusia untuk seketika ditempatkan di keduanya tanpa alasan apa pun, tetapi Allah tak melakukannya. Allah memilih membuat manusia hidup di dunia terlebih dahulu untuk melihat sendiri amal perbuatannya sehingga layak di tempat mana. Allah SWT berfirman :

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى 

“Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan bumi, agar Ia membalas orang-orang yang berbuat buruk sebab apa yang mereka kerjakan dan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan.” (QS. An-Najm: 31)


Wallohu A’lam


(Diambil dari berbagai sumber)

Tauhid Pelajaran yang Pertama dan Utama


الحمد لله الذي خلق الخلائق فأتقن ما صنع، وشرع الشرائع فأحسن ما شرع، لا مانع لما أعطى ولا معطي لما منع، وأشهد أن نبينا وحبيبنا محمداً عبد الله ورسوله، أقام بالتوحيد صرح الفضيلة ورفع، ورد به شدائد الدنيا ووضع،صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه الموحدون له في الرخاء وعند الفزع، ومن سار على نهجه واتبع، وسلم تسليماً كثيراًأما بعد
Imam Al-Ghazali dalam Ar-Risalah Al-Laduniyyah menyatakan bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu  ilmu syar’iy (ilmu keagamaan) dan ilmu ‘aqliy (ilmu rasionalitas). 

Ilmu syar’iy (keagamaan) kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu al-ushul (ilmu pokok-pokok keagamaan), dan ilmu al-furu’ (ilmu cabang-cabang keagamaan).

Yang masuk kategori dalam ilmu al-ushul sebagai bagian dari ilmu syar’iy adalah ilmu tauhid, ilmu tafsir (ilmu yang mengkaji tentang Al-Quran dan penafsirannya), dan ilmu al-akhbar (ilmu yang mengkaji tentang hadits Rasulullah dan pemahamannya). Ilmu al-ushul terkategori sebagai ilmu teoritis (ilmiyyan).

Ilmu al-furu’ (ilmu cabang-cabang keagamaan) sebagai bagian dari ilmu syar’iy itu terkategori ilmu aplikatif (‘amaliyy). Ilmu ini mencakup tiga hak. Pertama, hak Allah yang meliputi  rukun-rukun ibadah semisal thaharah, shalat, zakat, haji, jihad, dzikir, dan lain-lain perkara yang wajib dan sunnah. Kedua, hak sebagai hamba Allah, yang mencakup interaksi bisnis, relasi sosial, dan transaksi antarmanusia. Jenis pertama dan kedua ini disebut sebagai ilmu fiqih. Ilmu ini mulia karena manusia tidak akan bisa terlepas darinya. Ketiga, hak diri, yang disebut juga sebagai ilmu akhlak. Akhlak itu ada yang tercela, dan manusia harus menghilangkannya; dan ada yang terpuji, yang mesti menjadi hiasan jiwa manusia.

Ilmu ‘aqliyy (ilmu rasionalitas) termasuk ilmu yang rumit. Ilmu ini terbagi menjadi tiga tahapan.  Pertama adalah ilmu ar-riyadhy (matematika, atau ilmu hitungan) dan ilmu mantiqiy (logika). Kedua adalah ilmu at-tabiiyy (ilmu alam atau biologi). Ketiga adalah ilmu nadhar fil mawjud (ilmu penelitian tentang segala hal yang ada).

Objek Ilmu Tauhid dan Sumbernya 

Sebagai ilmu syar’iy, ilmu tauhid mengaji tentang zat dan sifat Allah, perihal kenabian, kematian, dan kehidupan, kiamat dan segala hal yang terjadi di hari kiamat. Kajian utama ilmu tauhid adalah tentang Allah Yang Qadim (terdahulu, tanpa ada pemulaan). Syekh Al-Khatib Al-Baghdady meriwayatkan bahwa Imam Junaid al-Baghdady berkata:

التَّوْحِيد إفْرَادُ القَدِيْمِ مِن المحدث 

“Tauhid adalah pengesaan Allah Yang Qadim dari menyerupai makhluk-Nya.”

Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling utama, karena yang dikaji adalah Allah, Sang Pencipta, Yang Maha Esa. Ilmu ini wajib dipelajari oleh setiap yang berakal. Ulama ilmu ini adalah ulama yang paling utama.

Pembahasan ilmu tauhid menurut Ahlussunnah wal Jama'ah harus dilandasi dalil dan argumentasi yang definitif (qath'i) dari Al-Qur'an, hadits, ijma' ulama, dan argumentasi akal yang sehat. Imam al-Ghazali dalam Ar-Risalah al-Laduniyyah mengatakan :
وَأَهْلُ النَّظَرِ فِيْ هَذَا الْعِلْمِ يَتَمَسَّكُوْنَ أَوَّلاً بِآيَاتِ اللهِ تَعَالَى مِنَ اْلقُرْآنِ، ثُمَّ بِأَخْبَارِ الرَّسُوْلِ، ثُمَّ بِالدَّلاَئِلِ الْعَقْلِيَّةِ وَالْبَرَاهِيْنِ الْقِيَاسِيَّةِ.
Ahli nadhar (nalar) dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegangan pada ayat-ayat Al-Qur'an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul, dan terakhir pada dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi analogis.

Berikut adalah rincian dalil-dalil tersebut secara hirarkis:

1. Al-Qur'an

Al-Qur'an al-Karim adalah pokok dari semua argumentasi dan dalil. Al-Qur'an adalah dalil yang membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu ajaran. Al-Qur'an juga merupakan kitab Allah terakhir yang menegaskan pesan-pesan kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah memerintahkan dalam al-Qur'an agar kaum Muslimin senantiasa mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ

Artinya: “Kemudian jika kalian  berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. al-Nisa' : 59).

Mengembalikan persoalan kepada Allah, berarti mengembalikannya kepada Al-Qur'an. Sedangkan mengembalikan persoalan kepada Rasul, berarti mengembalikannya kepada sunnah Rasul  yang shahih.

2. Hadits

Hadits adalah dasar kedua dalam penetapan akidah-akidah dalam Islam. Tetapi tidak semua hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah. Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadits yang perawinya disepakati, dan dapat dipercaya oleh para ulama. Sedangkan hadits yang perawinya masih diperselisihkan oleh para ulama, tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah sebagaimana kesepakatan para ulama ahli hadits dan fuqaha yang mensucikan Allah dari menyerupai makhluk. Menurut mereka, dalam menetapkan akidah tidak cukup didasarkan pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur yang dha'if, meskipun diperkuat dengan perawi yang lain.

Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi  sebagaimana dikutip Syekh Abdullah Al-Harary dalam kitabnya Sharihul Bayan menyatakan :
لاَ تَثْبُتُ الصِّفَةُ ِللهِ بِقَوْلِ صَحَابِيٍّ اَوْ تَابِعِيٍّ إِلاَّ بِمَا صَحَّ مِنَ اْلاَحَادِيْثِ النَّبَوِيَّةِ الْمَرْفُوْعَةِ الْمُتَّفَقِ عَلَى تَوْثِيْقِ رُوَاتِهَا، فَلاَ يُحْتَجُّ بِالضَّعِيْفِ وَلاَ بِالْمُخْتَلَفِ فِيْ تَوْثِيْقِ رُوَاتِهِ حَتَّى لَوْ وَرَدَ إِسْنَادٌ فِيْهِ مُخْتَلَفٌ فِيْهِ وَجَاءَ حَدِيْثٌ آخَرُ يَعْضِدُهُ فَلاَ يُحْتَجُّ بِهِ
Artinya: Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang sahabat atau tabi'in. Sifat Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi  yang marfu', yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha'if dan hadits yang perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu ada hadits lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.

Al-Hafizh Al-Baihaqi juga mengutip dalam kitabnya al-Asma' wa al-Shifat dari al-Hafizh Abu Sulaiman Al-Khaththabi, bahwa sifat Allah itu tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan nash al-Qur'an atau hadits yang dipastikan keshahihannya.

Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadits mutawatir, yaitu hadits yang mencapai peringkat tertinggi dalam keshahihan. Hadits mutawatir ialah hadits yang disampaikan oleh sekelompok orang yang banyak dan berdasarkan penyaksian mereka serta sampai kepada penerima hadits tersebut, baik penerima kedua maupun ketiga, melalui jalur kelompok yang banyak pula. Hadits yang semacam ini tidak memberikan peluang terjadinya kebohongan.

Di bawah hadits mutawatir, adalah hadits masyhur. Hadits masyhur dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah karena dapat menghasilkan keyakinan sebagaimana halnya hadits mutawatir. Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari generasi pertama hingga generasi selanjutnya. Al-Imam Abu Hanifah dan pengikutnya menetapkan syarat bagi hadits yang dapat dijadikan argumentasi dalam hal-hal akidah harus berupa hadits masyhur. Dalam risalah-risalah yang ditulisnya dalam hal-hal akidah, Abu Hanifah membuat hujjah dengan sekitar empat puluh hadits yang tergolong hadits masyhur. Risalah-risalah tersebut dihimpun oleh al-Imam Kamaluddin al-Bayadhi al-Hanafi dalam kitabnya, Isyarat al-Maram min 'Ibarat al-Imam. Sedangkan hadits-hadits yang peringkatnya di bawah hadits masyhur, maka tidak dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan sifat Allah.

3. Ijma' Ulama

Ijma' ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaannya) adalah ijma' ulama yang qath'i. Dalam konteks ini, al-Imam al-Subki berkata dalam kitabnya Syarh 'Aqidah Ibn al-Hajib :
اِعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْجَوَاهِرِ وَاْلأَعْرَاضِ كُلِّهَا الْحُدُوْثُ فَإِذًا الْعَالَمُ كُلُّهُ حَادِثٌ، وَعَلَى هَذَا إِجْمَاعُ الْمُسْلِمِيْنَ بَلْ كُلِّ الْمِلَلِ وَمَنْ خَالَفَ فِيْ هَذَا فَهُوَ كَافِرٌ لِمُخَالَفَتِهِ اْلإِجْمَاعَ الْقَطْعِيَّ اهـ
Artinya: "Ketahuilah sesungguhnya hukum jauhar dan 'aradh (Jauhar adalah benda terkecil yang tidak dapat terbagi lagi. Sedangkan 'aradh adalah sifat benda yang keberadaannya harus menempati benda lain) adalah baru. Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma' kaum Muslimin, bahkan ijma' seluruh penganut agama-agama (di luar Islam). Barangsiapa yang menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma' yang qath'i." 

4. Akal

Dalam ayat-ayat al-Qur'an Allah Ta’ala telah mendorong hamba-hamba-Nya agar merenungkan semua yang ada di alam jagad raya ini, agar dapat mengantar pada keyakinan tentang kemahakuasaan Allah. Dalam konteks ini Allah berfirman :

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ 

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi. (QS. al-A'raf : 185).

Allah juga berfirman :

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ 

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar. (QS. Fushshilat: 53).

Dalam membicarakan sifat-sifat Allah, sifat-sifat Nabi, para Malaikat dan lain-lain, para ulama tauhid tidak hanya bersandar pada penalaran akal semata. Mereka membicarakan hal tersebut dalam konteks membuktikan kebenaran semua yang disampaikan oleh Nabi dengan akal. Jadi, menurut ulama tauhid, akal difungsikan sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran syara', bukan sebagai dasar dalam menetapkan akidah-akidah dalam agama. Meski demikian, hasil penalaran akal yang sehat tidak akan keluar dan tidak mungkin bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh syara'.

Demikianlah faktanya bahwa masalah tauhid yang bersumber dari Quran dan Hadits itu juga diperkuat dengan dalil-dalil aqli (rasional). Hal demikian setidak-tidaknya karena dengan dua tujuan. Pertama, agar sesiapa yang menentang masalah tauhid itu agar dapat menerima dan segera meyakininya, atau setidaknya menghentikan penentangannya tersebut. Mereka yang menentang ini adalah kelompok anti Tuhan atau kelompok di luar Ahlussunnah wal Jama’ah yang cenderung mempertanyakan dengan nada memojokkan. Kedua, agar mereka yang masih ragu-ragu dapat segera hilang keraguannya, kemudian tumbuh dalam dirinya suatu keyakinan yang mantap.     

Terkait dengan metode Ahlussunnah wal Jama'ah yang menggabungkan antara naql dengan akal tersebut, para ulama memberikan perumpamaan berikut ini. Akal diumpamakan dengan mata yang dapat melihat. Sedangkan dalil-dalil syara' atau naql diumpamakan dengan Matahari yang dapat menerangi. Orang yang hanya menggunakan akal tanpa menggunakan dalil-dalil syara' seperti halnya orang yang keluar pada waktu malam hari yang gelap gulita. Ia membuka matanya untuk melihat apa yang ada di sekelilingnya, antara benda yang berwarna putih, hitam, hijau dan lain-lain. Ia berusaha untuk melihat semuanya. Tetapi selamanya ia tidak akan dapat melihatnya, tanpa ada Matahari yang dapat meneranginya, meskipun ia memiliki mata yang mampu melihat. Sedangkan orang yang menggunakan dalil-dalil syara' tanpa menggunakan akal, seperti halnya orang yang keluar di siang hari dengan suasana terang benderang, tetapi dia tuna netra, atau memejamkan matanya. Tentu saja ia tidak akan dapat melihat mana benda yang berwarna putih, hijau, merah dan lain-lainnya. Ahlussunnah Wal-Jama'ah laksana orang yang dapat melihat dan keluar di siang hari yang terang benderang, sehingga semuanya tampak kelihatan dengan nyata, dan akan selamat dalam berjalan mencapai tujuan.


Yusuf Suharto, Tim Narasumber Aswaja NU Center Jatim, dosen Aswaja Institut KH Abdul Chalim, Mojokerto

x